biography stuffies Archives home

  


One Step Closer
Sabtu, 29 November 2014 | 0 comments



One Step Closer
Karya : Mutiah Karim
               

                  Kali ini aku melihatnya di lobi sekolah, kamarin di masjid, dan entah  besok. Dia menggulirkan senyum manisnya hari ini, kemarin, dan entah besok. Tetap saja aku hanya bisa mengintainya dari kejauhan.   Berharap dia menyadari bahwa ada seseorang yang ingin selalu melihat senyumnya. Entahlah apa yang membuatku ketagihan, tapi sunggingan senyumnya selalu membuat hariku lebih baik.
                “Hayo pagi pagi udah bengong aja, pake senyum-senyum segala lagi. Lagi mikirin si Itu ya?” lamunanku seketika dibuyarkan oleh suara yang tak asing lagi, Era.
                “Uhm” jawabku dengan gerakan anggukan kepala.
                “Udah sampe mana kamu sama si Itu?” Tanya Era, dan pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang ingin aku dengar, dan sepertinya pertanyaan itu juga bukan yang ingin ditanyakan Era padaku.
                “Ha? Ngga sampe mana-mana Ra, ya kamu tau sendiri kan?” aku menjawab dengan nada agak kebingungan. Selama ini hanya Era yang tahu kalau aku suka si Itu, dan dia yang paling memahami itu. Tapi kali ini dia berlagak baru kenal denganku.

                Selama di tingkat sekolah ini, Era lah yang selalu mendengar keluh kesahku tentang apapun. Entah apa dia bosan atau tidak tentang keluh kesahku yang aku pikir cukup monoton. Apalagi tentang si Itu. Di kelas, kantin, jalan, yang selalu kuceritakan pada Era ya pasti tentang si Itu. Aku rasa aku sedikit menyiksanya dengan ini, ya inilah yang katanya persahabatan.
                “Era? Aku mau tanya, tapi kamu jawab jujur ya?” sebenarnya aku tak tahu apa yang ingin aku tanyakan, aku agak tidak memahami pikiranku kali ini, entah karna sihir senyumnya itu atau apa. Era mengangguk, menandakan dia akan menjawab jujur. Aku mengambil spasi sedikit lama, dan lanjut bertanya
                “Aku cantik gak ya?” lagi-lagi aku tidak bisa memahami pemikiranku ini, pertanyaan apa ini? Ah. Aku tahu benar apa yang akan dijawab oleh Era tentang pertanyaanku ini.
                “Apa? Hahahahaha kamu ini lagi kenapa toh?” yap! Tepat dengan dugaanku, pasti Era akan menertawakanku, dan itu benar. Aku hanya terdiam, sedikit merenungi pertanyaan konyolku.
                “Ehm..setiap cewek pastinya cantik, cuma tergantung sama siapa yang ngeliat. Kenapa? Kamu mau tanya kalau kamu pantes sama si Itu apa gak? Pantes pantes aja sih, tapi itu idung mancungin dikit kali yak, soalnya si Itu kan udah terkenal kepesekannya, hahaha” sial! Era malah tambah menjadi-jadi, dan sialnya lagi dia lebih memahami pemikiranku tentang apa yang ingin aku tanyakan. Dan lagi, aku hanya terdiam dan tidak bisa mengelak perkataan Era.

                Siang ini begitu panas, bahkan masuk masjid saja panas masih menusuk kulit. Setelah selesai berdoa kepada Rabku yang menciptakanku kulipat mukenah, dan aku bergegas keluar masjid, bel masuk kelas berbunyi. Kupakai sepatuku dengan buru-buru. Saat aku berlari, ada sesuatu yang aneh, entah apa, tapi aku hiraukan itu. Aku tetap berlari. Sambil menarik nafas dengan terengah-engah aku berlahan menghampiri tempat dudukku, dan terlihat jelas Era sudah menyambutku.  Dan belum sempat aku duduk, beberapa temanku memanggilku, sekali lagi aku masih terengah-engah berat sekali rasanya untuk memalingkan tubuh ke mereka. Tapi mereka terus memanggil namaku, dan kedengarannya ini panggilan emergency. Kupaksa tubuhku untuk menghadap mereka
                “Yaaa ada apa?” aku bertanya singkat mengapa mereka terus memanggil namaku.
                “Ada yang nyari tuh di luar” salah satu temanku menjawab. Jawaban temanku tadi membuatku bertanya-tanya siapa yang mencariku? Kulihat kearah pintu, tapi tidak ada seorangpun di dekat pintu kelas. Guru BK? Karyawan TU? Tanpa pikir panjang aku berjalan menuju pintu dengan perasaan aneh yang terbawa sejak dari masjid tadi. Seketika aku menghentikan langkahku, sepertinya aku paham punggung itu, aku paham itu adalah punggung si Itu! Apakah dia yang mencariku? Ah mana mungkin! Pikiran bodoh! Sudahlah bukan si Itu yang mencariku. Aku lanjut melangkah dengan degup jantung yang semakin cepat. Sesampainya aku di ambang pintu, aku tengok kanan kiri kelas dan tidak ada siapa-siapa. Fakta yang mengejutkan bukan? Apa benar si Itu yang mencariku? Dan sepertinya si Itu merasakan ada seseorang di belakangnya sehingga dia menoleh ke arahku. Ketika dia menangkap mataku, ketika itu juga jantungku seperti berhenti berdegup. Aku sungguh benci perasaan ini, perasaan ini yang membuatku semakin menggila. Aku diam seribu kata.
                “Apa bener nama kamu Tika?” si Itu memulai percakapan, dan aku lihat dia sepertinya gelisah. Dia menatap kedepan dan kemudian menghadapkan kepalanya kebawah, begitu dia lakukan berulang-lang, ini membuatku bingung.
                “I-iya, ada perlu apa ya?” dengan ragu-ragu aku jawab pertanyaannya. Sebenarnya apa tujuan dia mencariku?
                “Maaf sebelumnya, tapi ini sedikit penting, ini menyangkut nama baikku dan nama baikmu” si Itu semakin membuatku kebingungan dengan perkataanya.
                “Nama baik??” aku belum bisa mengerti apa maksud perkataannya tadi.
                “Iya nama baik. Begini, aku kehilangan sepatuku di masjid tadi pas waktu dzuhur. Dan temanku bilang dia melihat kamu memakai sepatuku. Jadi aku kesini mau memastikan kamu yang memakai sepatuku atau bukan. Tapi maaf kalau kamu tersinggung atau tidak, bukan maksudku begitu.” Si Itu menjelaskan tujuannya dengan singkat dan jelas. Tak sadar aku menghadapkan kepalaku kerah bawah. Dan benar saja sepulang dari masjid ada perasaan aneh. Jadi aneh ini! Baru aku sadari kalau sepatunya sama dengan sepatuku. Modelnya, bentuknya, warnanya, yang berbeda hanya ukurannya saja, makannya aku rasa ada yang aneh. Dan tujuan si Itu mencariku tidak bisa kubantah. Memang benar aku salah pakai sepatu!
                “Oooh kayanya temenmu bener kalau aku yang pakai sepatumu. Maaf ya. Aku gak sengaja soalnya tadi udah bel terus aku sembarang pakai sepatu. Soalnya sepatunya mirip banget sih. Maaf ya” dengan penuh rasa malu aku mengakui kesalahanku. Dan kelihatannya si Itu gak marah sedikitpun. Aku coba menenangkan adu perasaan dalam tubuhku. Perasaan bahagia, malu, bingung, canggung, banyak. Dengan cepat aku melepas sepatu yang melekat di kakiku sejak tadi. Si Itu langsung menyerahkan sepatuku.
                “Sekali lagi maaf yah. Aku gak sengaja deh bener hhehe”
                “Iya gak apa-apa kok. Lagian gak sengaja inih, emang manusia tempatnya salah hehehe” si Itu menampakkan senyum manisnya dan berusaha membuatku tidak merasa sepenuhnya bersalah. Ini benar-benar ketidasengajaan yang membahagiakan seumur hidupku. Ah rasanya aku ingin terbang ke langit ke-tujuh dan melihat seluruh alam yang sangat indah seindah perasaanku sekarang.
                “Eh ada Pak Elang, aku masuk kelas duluan yah. Sekali lagi maaf.” Dengan perasaan bahagia tiada tara aku masuk kelas.
                “Iya gak apa-apa. Makasih ya” si Itu mengatakan terima kasih sembari menjauhi pintu kelasku. Sampai di mejaku, aku disambut dengan 1000 pertanyaan oleh Era. Dan aku jawab satu persatu pertanyaannya dengan sepenuh hati. Sampai bel pulang sekolah aku masih belum percaya apa yang terjadi antara aku dan si Itu yang mengakibatkan dia tahu namaku, kelasku, dan melakukan percakapan denganku.
               
               
Setelah kejadian sepatu itu, ada peristiwa yang lebih membahagiakan. Lebih dari rasa bahagia kemarin itu. Tidak aku sangka, ke esokan harinya si Itu mengirim pesan singkat ke nomor handphoneku. Saat aku baca smsnya, secara reflek aku berteriak kegirangan tak jelas. Entah dari mana dia mendapat nomor hpku, itu tidak penting yang penting sejak itu kami jadi sering berkomunikasi.

Label: